my dance with syta

...because the earth is moving, the world is turning upside down and dance will be last forever...

Saturday, March 31, 2007

The Devil Wears No Black

Weekend kemarin, karena berniat hendak menghadiri undangan pesta ulang tahun teman saya yang notabene seorang perancang busana di sebuah lounge di Ritz Carlton, saya terpaksa berpikir keras untuk mempersiapkan baju apa yang harus saya kenakan. Maklum, teman saya itu sangat kritis terhadap penampilan orang, sesuai dengan profesinya.

Menurut saya, ‘hitam’ adalah warna yang aman. Cool, elegant, sexy dan merampingkan! Hehe.. Tapi tahu apa yang setelahnya saya sadari?

Saya tidak punya baju warna hitam!

Baju hitam yang ada di lemari saya adalah:
Halter neck berbahan satin yang sudah sangat ‘oldschool’.
Kaus olahraga buluk.
Kaus berhologram ‘sexy’ ala 60’es.
Tanktop buat bobo.
Kemeja ESPRIT yang ada ‘buntut’nya.
Kaus seragam kantor saya (dulu).

How on earth, seorang saya tidak punya the-must-have-basic-color di lemari saya! Bagaimana kalau teman saya si perancang busana itu sampai tahu akan hal ini? Kenyataan yang MENGERIKAN!!! (Hyperbole mode on). How come this is happening to me??!

PS : Saya batal hadir di pesta itu. Bukan karena saya tidak punya baju hitam untuk dikenakan, tapi karena, somehow, saya end up di depan TV dengan DVD-DVD yang, at that moment, lebih menggoda dibandingkan dentaman musik tribal dan gelas-gelas cocktail cantik dengan isinya yang memabukkan :)

Ronn, nih cerita soal Si Bapak Kost

Teman saya Ronn, mengingatkan saya untuk menulis blog tentang bapak kost saya (Ronn, sabar donk! Terlalu banyak ide di kepala saya untuk dituangkan ke dalam blog, jadi kamu harus sabar…).

Beberapa hari ini saya sudah tidak pernah lagi berenang di kost saya. Pertama, karena saya sendiri sudah jarang sekali menginap disana. Kedua, karena bapak kost saya ‘psycho’.

Begini ceritanya:

Setelah keluar kota dalam jangka waktu yang lumayan lama, akhirnya saya berlabuh kembali ke kost saya yang nyaman.
Home sweet home!
Saat itu jam 12 siang. Tak heran bila kost nampak sepi karena 5 penghuninya yang lain tentunya sedang berada di kantor masing-masing. Menurut informasi si Bibik, ibu kost sekeluarga juga baru berangkat ke Bandung pagi harinya.
Saya senang-senang saja. Semakin sepi semakin baik, menurut saya. Jadi saya bisa menghabiskan waktu lebih banyak untuk memakai dapur, berenang, mendengarkan musik keras-keras dan ngobrol dengan si Bibik tanpa harus meninggalkan kamar (maksudnya, berteriak-teriak. Hehe..).
Maka langsunglah saya menyambar mie kimchi instant saya (lho? Iya, sebelum berenang saya memang punya kebiasaan makan mie kimchi – Ronn, dapat diperoleh di Hero Supermarket).

“Bik, minta telur donk…”
“Masak indomie yah, Mba? Bentar.. Bibik ambilin di kulkas ibu.” Bibik saya memang responsif, tapi ini bukan indomie, Bik. Ini Mie Kimchi. Sebungkusnya seharga Rp 6000, Ronn).

Sambil menunggu si Bibik, saya duduk di bangku dekat kolam renang, sambil membaca Kompas edisi hari itu.

“Ini telurnya, Mba.” Beberapa saat kemudian Bibik datang sambil membawa dua butir telur ayam.
“Banyak amat telurnya Bik. Satu aja ah.”
“Ini tadi dikasih Bapak emang dua, Mba. Biar Mba kuat, katanya.”
Kuat? Emangnya saya kepengen jadi binaragawati, apa?
“Lho, si Om bukannya ke Bandung ama Tante?”
“Bapak ga ikut, Mba. Lagi sakit.”

Seperti sinetron Indonesia, tiba-tiba si Bapak kost datang menjelang dengan terbatuk-batuk.

“Hey, you’re home. Where have you been?” Dia emang suka keEnglish-Englishan. Biasa, jenis pensiunan Pertamina yang sering berwisata keluar negri menikmati pesangonnya.
“Yeah, just arrived and will go out in view hours.”
Tips 1: Bapak kost yang sering berbahasa Inggris harus ditanggapi dengan bahasa Inggris pula.
“I thought you are in Bandung with the others.”
Tips 2: Basa-basi tetep perlu, bila ada kesempatan.
“Jaga rumah. Kalau pergi semua nanti ga ada yang nungguin.”
“Bukannya ada si Asep ama si Bibik?”
Disini saya lupa jawaban dia apa… sorry. Maklum, saya khan hanya basa-basi. Tapi yang jelas setelahnya dia bilang, “I’m lonely.”
Saya bergidik dengan cara dia bicara, lengkap dengan tatapan 'bujang asoy' yang dilemparkan ke saya.
“Om, saya lagi masak mie.” Jangankan ‘menangkap’ lemparannya, saya malah langsung kabur meninggalkan dia, menyusul Bibik ke dapur.
Eh, dia ngikutin. Mungkin berharap si Bibik ga ada di dapur.
Se-udzon banget ga sie, saya?
“Tadi saya kasih dua telurnya.” Dia berusaha membuka pembicaraan.
“Kebanyakan Om. Saya ambil satu aja”
Di samping saya, si Bibik nyuci-nyuci piring dengan cueknya. Hidup Bibik!
“Ya sudah, nanti kalau kurang ambil lagi saja.”

Dan dia pun berlalu, nongkrong di pinggir kolam renang.

Seketika saya membatalkan niat untuk berenang, sekalipun pada saat itu saya sudah mengenakan baju renang saya di balik baju rumah saya. Biarpun kadang-kadang sok jagoan, saya tetap tidak merasa nyaman dengan orang psycho (se-udzdon lagikah?) yang terakhir saya lihat sedang ngedon di pinggir kolam renang itu. Lebih baik mencegah daripada mengobati, bukan.

Eniwei, saya belum berenang hari ini. Di luar (apartemen teman saya) sedang hujan…

Mbak Sierra

Nama saya biasa saja, bukan? Gampang diucapkan, gampang ditulis, gampang didengar dan one of a million common name.

Tapi percaya atau tidak, nama saya tidak termasuk dalam kategori nama yang gampang didengar melalui telfon.

Ogh… Ini uneg-uneg yang sangat menyesakkan dada karena telah saya alami selama bertahun-tahun (terutama setelah saya mulai bekerja, mulai sering mengangkat telfon dari orang-orang asing yang tidak pernah saya kenal sebelumnya dan mereka pun belum pernah mengenal saya).

“Dengan siapa saya bicara?”
“Dengan Syta.”
“Mbak Vita, saya mau nanya…”

Nama saya Syta. Bukan Vita.

“Hallo, bisa bicara dengan Sinta?”
“Maaf ibu, tidak ada yang namanya Sinta disini.”
“Tapi ini 1115, kan? Extensionnya Mbak Sinta?”

Nama saya Syta. Bukan Sinta.

“Dari siapa ini, Mbak?”
“Syta.”
“Vita?”
“Bukan. Syta.”
“Mbak Sinta.”
“Syta, Pak. Syta.”
“Siska? Vika?”
Sigh…
“Syta Pak. Sss.Sss. Sierra.”
“Ooogh… Mbak Sierra.”

That’s it.

It’s truly happened. Bukan meniru iklan Kit Kat.

Sigh…Sigh…Sigh… Beban lama yang masih juga bertahan hingga sekarang.

Sexy-attractive girl looking for sexy-attractive-rich guy

Beberapa hari yang lalu, saat saya tengah menikmati brunch saya di coffee shop di sebuah mall, saya tertarik pada secarik iklan pada sebuah Koran harian berbahasa Inggris:

25 years old Bule guy, handsome, model, have a job, live in Bali.
Looking for pretty and rich woman.
Please contact 0813837…89


Glek! Luar biasa. Iklan itu muncul pada kolom ‘relationship’ (sejenis biro jodohkah, ini?). The one and only.

Saya jadi bertanya-tanya:
Bule seperti apakah si handsome ini?
Bekerja sebagai model apakah dia?
Sekaya apakah wanita yang dicarinya?
Dengan tujuan apakah ia mencari wanita itu?

Teringat oleh saya, beberapa bulan yang lalu, saat saya sedang getol-getolnya mencari teman-untuk-berbagi-apartemen-tapi-tak-kunjung-ada, salah seorang sahabat saya sempat mengajukan ide untuk pasang iklan di Koran.

“Di luar negri khan udah awam hal beginian, bow.” Begitu katanya. Hingga akhirnya muncul ide untuk mengiklankan:

Sexy-attractive girl looking for sexy-attractive-rich guy
To live together in simply luxurious apartement in South Jakarta.
Please contact 08….11147

Tapi niat (nakal) itu akhirnya dibatalkan karena ternyata saya berhasil mendapatkan ‘serviced kost’ yang secara jarak lebih menunjang untuk jalan kaki ke kantor dan secara fasilitas tak kalah dengan apartemen (itu duluuuu… masa-masa saya masih menerima gaji… hiks).

Entahlah hanya saya saja yang baru sadar akan hal ini, namun mencari teman melalui iklan baris nampaknya telah menjadi fenomena baru di Indonesia, dengan harapan yang menjanjikan pula.

Terbukti, beberapa hari kemudian, saat duduk di coffee shop yang sama dan membaca Koran yang sama pula, saya menemukan beberapa iklan sejenis, sehingga kali ini kolom ‘relationship’ menjadi semakin marak:

Mencari teman expatriate yag tinggal di daerah Kemang…
Mencari wanita muda asli Indonesia dengan bahasa Inggris yang cakap…
Mencari lelaki mapan tak lebih dari 50 tahun asal Australia…

Thursday, March 29, 2007

10 things to do before I leave Indonesia (someday, somehow):

  1. Make a pottery.
  2. Take a photo in Toraja Traditional House (I forget what the name is).
  3. Jogging between the rice fields in Bali.
  4. Flying a kite in beautiful beach.
  5. Eat jengkol.
  6. Sail by a cruise ship.
  7. Register Indonesia’s beauty contest.
  8. Remember at least 5 Indonesian tales, in detail.
  9. Take one shot of Cap Tikus or Topi Miring.
  10. Cook at least 5 Indonesian dishes, successfully tasty.

Wednesday, March 28, 2007

Million Dollars Smile

Tepat satu hari yang lalu, saat saya menikmati Char Kway Teow di sebuah restoran di Plaza Indonesia, saya disodorkan satu stoples berisi Fortune Cookies oleh salah seorang waiternya. Saya yang saat itu tengah bersama salah satu sahabat terdekat saya tentu saja dengan bersemangat mengambil masing-masing satu cookie (sebenarnya saya saja yang bersemangat, karena teman saya cowok dan cowok selalu menyembunyikan antusiasme mereka terhadap hal-hal seperti ini, thank God I am a girl!).

Buru-buru kami (saya) menyelesaikan makan, sebab ramalan dalam Fortune Cookies katanya lebih afdol bila dibaca setelah makanan telah habis disantap.

“Laughter translates into every language”

Diam-diam saya merasa bodoh, karena tidak pernah terlalu pay attention dengan yang namanya poem atau quote (which is ternyata bukan keduanya, membuat saya lebih merasa bodoh), sehingga dengan menyerah saya serahkan pada translater terbaik yang pernah ada saat itu, yang notabene adalah teman saya (Karena dia bule, tentu saja bahasa inggrisnya lebih bagus daripada saya, bukan? Atau ternyata dia hanya sok-sokan ngerti? Membodohi saya? Oogh… Bila benar, saya BENAR BENAR BODOH).

“This is so you.”
“Me?”
“You have a million dollars smile”
I wish I have. Million dollars is a big thing.
“Do I?”
“That’s exactly what Bram said about you. Something less or more like it.”
Kenapa cowok ga bisa ekspresif, sih?
“Did he say so?”
Teman saya mengangkat bahunya, sepertinya dia kelepasan ngomong.
“When you smile, world will open its hand for you.”
Blushed. Dia tidak bicara lagi soal Bram.
”……”

Saya jadi ingat beberapa orang yang pernah mengatakan hal serupa terhadap saya:
  • Rekan kerja saya di Aston (Saya lupa namanya, ketemu lagi waktu kami terbang ke kota yang sama, dengan pesawat yang sama).
  • Jeryka, penyanyi Jazz yang kebetulan sempat jalan bareng saya.
  • Dokter gigi saya (Yang mungkin hanya sekedar mengagumi ‘karya’nya).
  • Satpam di tempat kost saya yang lama.
  • Waiter di Grand Hyatt.
  • Regional Marketing Director tempat saya kerja dulu.
  • Mantan mertua perempuan saya.
  • Beberapa cowok iseng yang nongkrong di jalan dan secara kebetulan melihat saya nyengir.

Sepertinya ada beberapa lagi, tapi karena menurut saya tak terlalu istimewa, saya tak terlalu menggubris.

Selama ini berteman, dia tak pernah bilang apa-apa soal senyuman saya, atau cara tertawa saya yang kata orang ‘mute mode’. Tapi entah kenapa, Fortune Cookies saya yang sepertinya biasa itu, bagi saya SANGAT luar biasa, karena dengan caranya sendiri dia telah membuka mata saya akan the power of smile.

Bila benar sebuah tawa dapat membuka pintu dunia saya menjadi semakin lebar, untuk apa pula saya menyembunyikannya?

Mari tertawa… :)

Tuesday, March 27, 2007

Question and Answer

Q : How do you do this morning?
A : 7.30 for a glass of water, 9.30 for morning exercise :), 10.30 for breakfast at apartment and telephone conversation with girlfriend, 12.00 for lunch at Coffee Bean, 1.30 for writing this blog.
Q : Don’t you suppose to go work?
A : Not anymore.
Q : Don’t you suppose to pack your stuffs for Bali trip tomorrow?
A : Yeah, but no need.
Q : Stop and Go – to pick up your repaired bag?
A : Love to – if I can find the shop. (sigh…)
Q : Hero Supermarket – buy some things for dinner?
A : Tried to, but I took a wrong way and end up with apartment elevator-what can I do?
Q : Shower?
A : Good idea – maybe later.
Q : Check mail?
A : Already… The internet is not working yet.
Q : Strange girl… You are not working, you will cancel your holiday, and you do not take shower anymore. What happening to you?
A : At least I am not working with ‘unbelievably but its true’ weird people anymore, I don’t have to spend my money on airline ticket - for 2 days only holiday (which is I just had it 2 weeks a go – in free), and yeah I will wash myself… I said LATER.
Q : Wow! You are so unpredictable. You can change your mind easily. Is it typically you?
A : Thanks. That’s a gift, I think.
Q : It’s a little bit… out of common system, isn’t it?
A : I don’t like to be into common system anyway. I have my system already.
Q : Your system?
A : Enjoying myself and life as much as I can. Say its simple, but not everyone has enough courageous to enjoy their times just like me.
Q : Have you ever afraid of being failed?
A : Everyday, but for me, being static is the most failure in this world.
Q : What will you do for the rest of the day?
A : Wash myself (I told you) in an hour, read a good book, watch a nice movie, take a nap, check my e-mail again, maybe write something for my blog?, manicure, try to find the Stop and Go shop again, call some friends, call delivery service food, exercises... I will be very busy.

Friday, March 23, 2007

A gift from the EARTH




Teman saya yang baru pulang dari belahan bumi Eropa, bertandang ke Jakarta membawa buah tangan unik yang katanya ‘sangat cocok untuk kita, karena bintang kita cancer’ (Out of the blue, saya hanya satu hari lebih tua dari dia).

Souvenir yang menurut labelnya dibuat di desa pengrajin Kilkenny – Irlandia ini (Mungkin kalau di Jogja seperti Kasongan-nya), adalah sebongkah liontin batu Moostone. Bagi yang belum pernah melihat, Moonstone berwarna coklat muda butek, rada-rada transparan dengan bercak putih susu tak beraturan. Mungkin cara saya mendeskripsikannya tidak terlalu memikat, tapi benda ini absolutely indah dan jarang dapat ditemui di kali-kali Jakarta yang bau dan pekat itu.

Dalam sebuh booklet kecil yang terdapat dalam kemasannya, Moonstone balances the emotions, inspires flexibility and nurtures wisdom, promotes tolerance and arouse passion when exchange between lovers – Memang sangat cocok bagi saya yang memiliki emosi seperti petasan injek, kecenderungan berubah tujuan hidup, sifat childish yang tak kunjung hilang serta kebiasaan berganti-ganti pasangan (ogh, betapa kosmopolitannya!)

Tapi ternyata, mau Eropa mau Indonesia, yang namanya illogical thinking tetap ada. Dipercaya sebagai ‘healing stone’ bagi cancerian, ada beberapa cara ‘lucu’ agar Moonstone dapat memberikan kesembuhan bagi tubuh dan jiwa pemakainya:

Pegang batu dengan tangan kiri anda.
Hembuskan nafas bersamaan dengan keluarnya stress dan energi negative yang selama ini bercokol pada tubuh.
Bayangkan anda diselimuti oleh perasaan damai.
Biarkan perasaan kasih dan cinta memasuki setiap jengkal bagian tubuh anda.
Fokus kepada Moonstone dan arahkan energi positif tadi ke bagian tubuh yang sakit.
Yakinlah bahwa efeknya akan bermanfaat untuk mengurangi dan menyembuhkan sakit yang ada.

100% mengandalkan sugesti.

Moonstone memang indah, namun menurut saya, ia tak lebih dari sekedar batu. Maka tanpa memedulikan teman saya yang berteriak-teriak protes, saya remas booklet kecil itu dan membuangnya ke sudut ruangan. Liontin Moonstone saya kembalikan ke dalam kemasannya. Bila ada keempatan yang tepat, suatu hari nanti saya akan mengenakannya sebagai aksesoris - tidak lebih.

Tuesday, March 13, 2007

Menghilang Ditelan Bumi

Mungkin ada diantara pembaca blog saya yang tidak pernah mengira, bahwa perjuangan saya bekerja di bidang penyelenggaraan festival musik (yang katanya) terbesar di Indonesia, adalah sungguh berat.

Saya bekerja sekurang-kurangnya 12 jam sehari, makan hanya dua kali sehari, dikejar-kejar puluhan orang untuk dimintai informasi, mengejar-ngejar puluhan manager artis untuk mendapatkan informasi, terpaksa meeting jam dua malam di tengah-tengah asap rokok dan berkaleng-kaleng bir, tak ada waktu untuk hangout, tak sempat berkencan, apalagi menulis blog. Saya sepenuhnya adalah milik kantor saya.

Begitu festival berakhir, saya langsung bertolak ke Bali untuk festival berikutnya. Untunglah hanya melibatkan beberapa band, sehingga saya masih punya waktu untuk berenang, main sepeda dan clubbing (dengan gank pentolan Jazz asal England yang ternyata, pada saat yang bersamaan beritanya masuk ke milis Universitas Indonesia, karena terlihat ‘ngamar’ bersama salah satu selebritis wanita yang seluruh anggota keluarganya sempat membuat berita sensasional dengan berenteng video tak senonoh, pengedaran narkoba, pas foto-tanpa baju tentunya dan penganiyaan terhadap wartawan. Kebetulan pula nama keluarganya sama dengan salah satu teroris terkemuka Indonesia). Ogh, ternyata ditengah-tengah pembelajaran yang serius, para mahasiswa UI kita tetap senang bergosip. I love this country!

Kepenatan itu seolah tak berakhir. Pulang ke Jakarta, ia bertambah 10 kali lipat. Kemunafikan, keiri hatian, sikap-sikap tak senonoh khas masyarakat Indonesia yang ‘ga bisa lihat orang senang, tapi pengen selalu kelihatan senang’, bagaikan awan hitam menggelayut di kantor saya. Sudah cukup. Saya lelah dan saya tidak ingin semakin lelah. Saya merasa hanya akan membuang waktu saya untuk sebuah ketidaknyamanan berbalut nama besar.

Jadi, kapten pun memutar haluannya. Tidak perlu sok-sokan menembus badai bila masih banyak arah lain yang menjanjikan. Mungkin sedikit memutar, mungkin akan bertemu badai lain, mungkin ada pusaran airnya, mungkin… mungkin… mungkin…

Tapi at least, saya tak menghilang ditelan bumi. Saya tetap eksis, saya tetap sexy! Haha… Hello, New World! Captain Syta coming…!