Romancing the Sun
Dia membelai kulit bahu saya yang terbuka. Saya tersentak kecil. Bukan karena perih, tapi karena sentuhannya seperti menghantarkan aliran listrik di permukaan kulit saya.
“Sorry, is it so hurt?”
“Nope. It feels good.”
Dia tersenyum kecil. Matanya memandang saya jenaka. Bulu matanya yang panjang dan halus seperti memohon untuk dikecup.
Saya seperti cewek bodoh yang terkena sindrom ‘kegilaan sementara akibat terlalu banyak berada di bawah terik matahari’. Jelas-jelas coffee shop di tengah lautan turis di pelataran mall ini tidak mendukung suasana romantis yang, entah kenapa, sempat-sempatnya terlintas di otak saya.
Mari alihkan pandangan ke arah pantai di bawah sana. Ombak sudah mulai meninggi dan matahari sudah condong ke arah barat. Sinarnya yang pink keemasan seperti lukisan yang dipajang di galeri-galeri seni.
Ujung jemarinya masih mengelus-elus kulit saya. Begitu lembut, seperti hembusan angin. ‘Setruman’ itu kini mendesak masuk, membuat detak jantung saya tidak stabil. Saya sedang dalam kondisi tidak normal, saya tahu.
“Saya akan ke dalam sebentar.” Ia berdiri dari duduknya.
“Oh… “
“Aloe vera bagus untuk mengobati kulit terbakar.”
“You don’t have to worry, really.”
Dia melemparkan senyum tipisnya selintas.
“You know I will always take care of you.”
Dan saat memandang punggungnya yang melangkah menjauh menuju Drug Store kecil di dalam mall, setrumannya masih tetap dapat saya rasakan. Tegangannya semakin tinggi, semakin tinggi, dan saya merasa semakin lemah… Seperti cahaya matahari yang kian hilang ditelan batas horizon...
Labels: Dancer's Night Story