Waktu saya berumur 5-6 tahun, salah satu permainan favorit saya adalah masak-masakan. Ga tau deh masih populer apa ga sekarang. Tapi dulu tuh, rasanya puasss banget kalau bisa mendapatkan satu set peralatan masak mewah berwarna-warni ukuran mini. Better than Barbie's house, really!
Saya bisa masak apa saja dengan peralatan itu. BBQ biji jagung, stir fried daun di pagar pembatas tetangga, sup bunga mahkota, you name it! Apapun yang ada di halaman rumah (dan beberapa hasil curian dari kulkas mama saya), bisa saya olah jadi makanan! Saya tak bilang makanan itu edible, tapi saya sebagai kokinya merasa wajib untuk, paling engga, menghabiskan setengahnya. Seajaib apapun rasanya! Untunglah perut saya lumayan kuat untuk hal-hal ini.
Kadang-kadang, bila saatnya tiba, hasrat saya untuk memasak dapat dikategorikan 'tidak manusiawi'. Melihat salah seorang pembantu di rumah yang doyan banget makan nasi panas pakai sambal ulek (she mixed it, jadi nasi panas merah pedas mengebul, katanya mengingatkan makanan sehari-hari dia di kampung halamannya), saya sempat terobsesi bikin sambal ulek segelas penuh (tentunya dengan resep pribadi saya yang tak patut dipertanggungjawabkan) dan saya minta si mbak pembantu untuk menghabiskannya. Entah karena status saya saat itu anak majikannya atau dia memang SANGAT kangen dengan makanan tradisionalnya, kata si mbak sambal buatan saya enak :).
Permainan masak-masakan saya berlanjut hingga zaman perkuliahan. Saya yang sejak kecil 'diharamkan' untuk jajan di luar, bahkan sempat punya microwave, lemari pendingin dan kompor gas kecil yang saya jejalkan di kamar kost saya yang sempit. Sekali lagi, bukan karena saya bisa masak masakan yang enak, tapi karena saya suka aja main masak-masakan (Dan dengan jujur, saya tetap lebih sering end up di Warung Padang dan Pecel Lele depan kampus serta mencegat Gorengan dan Cireng yang lewat di depan kost-kostan).
Tapi disini, di kota ini, permainan masak-masakan sudah tak lucu lagi. Sudah saatnya masak sesuatu yang serius, karena sampai kaki ini lelah melangkah, masakan Indonesia tak kunjung terlihat. Maka mulailah saya, dengan SERIUS, menanyakan resep-resep masakan ke teman-teman dan keluarga saya. Kadang-kadang belajar secara online lewat situs-situs masak favorit. Tapi pada akhirnya saya malah sering terlongong bingung, karena bumbu-bumbu yang ada tak sepenuhnya bisa saya temukan disini (seperti kluwek, daun salam, daun kunyit...halah!), dan satu lagi... ukuran! Sebal rasanya menemukan berbagai ukuran dalam gram, ons, liter, dll... I just sooo useless to deal with them.
Maka kemarin, ketika dengan penuh harapan saya meminta resep rendang rahasia keluarga dari Ms. F, saya sungguh memohon tidak diberikan takaran berdasarkan ukuran gram.
"Jadi mo pake ukuran apa?" tanya Ms. F.
"Terserah loe, deh. Mo pake sdt, sdm, sejumput, munjung ke kiri, munjung ke kanan..."
Memang benar kata orang, pada saatnya niat baik dan keseriusan muncul, seringnya berbagai cobaan datang. Sigh.....
Labels: Dancer's Diet, Dancer's Freak, Dancer's Stupidity